Sen. Des 23rd, 2024
Gunung RinjaniGunung Rinjani

Aku masih ingat hari pertama ketika memutuskan untuk mendaki Gunung Rinjani. Di kepala, aku pikir ini akan menjadi petualangan yang seru, penuh dengan pemandangan indah dan tentunya, pencapaian diri yang membanggakan. Tapi jujur saja, aku juga nggak benar-benar tahu apa yang bakal aku hadapi. Sebagai seseorang yang suka hiking tapi jarang mendaki gunung setinggi itu, perjalanan ini adalah salah satu yang paling menantang — dan paling berharga — yang pernah aku lakukan.


Kurang Persiapan Fisik Saat Mendaki Gunung Rinjani

Oke, jadi yang pertama kali aku salah paham adalah, “Seberapa sulit sih mendaki Gunung Rinjani?” Ternyata, Rinjani itu bukan gunung biasa. Gunung berapi aktif ini memiliki ketinggian lebih dari 3.700 meter, dan meskipun jalurnya terlihat “bisa-bisa aja,” realitanya jauh lebih berat dari yang kubayangkan.

Sebelum mendaki, aku pikir jalan-jalan pagi atau lari santai seminggu sekali sudah cukup buat persiapan fisik. Salah besar!. Begitu tiba di jalur yang terjal, dengkul mulai lemas, dan napas makin berat. Beberapa teman seperjalanan bahkan ada yang menyerah sebelum sampai di Plawangan Sembalun. Aku sendiri sempat ragu, tapi mental akhirnya jadi kunci utama. Jadi, pelajaran pertama: pastikan tubuh kalian dalam kondisi fit. Latihan fisik intens beberapa minggu sebelumnya adalah investasi yang nggak akan bikin menyesal.


Jangan Meremehkan Peralatan

Pengalaman lainnya yang membuka mata adalah pentingnya peralatan yang tepat. Aku sempat berpikir, “Ah, cuma butuh tenda, sleeping bag, sama sedikit baju hangat.” Tapi di atas gunung, angin dinginnya bisa menusuk tulang, terutama kalau kamu berencana untuk summit attack (menuju puncak) di dini hari, sekitar jam 2 atau 3 pagi.

Saat itu, aku membawa jaket yang kurang tebal dan hanya mengandalkan sleeping bag yang biasa aku pakai untuk camping di tempat yang nggak terlalu dingin. Alhasil, malam-malam di Plawangan Sembalun jadi pengalaman yang menyiksa. Setiap kali angin bertiup, dinginnya bikin tubuh menggigil, padahal udah berlapis-lapis pakaian. Di situ aku baru ngerti, pentingnya investasi di peralatan outdoor yang bagus. Pelajaran kedua: kalau mau mendaki gunung setinggi Rinjani, jangan pelit beli jaket windproof dan thermal wear yang memadai.

Oh iya, jangan lupa juga sepatu hiking yang kokoh. Waktu itu, aku pakai sepatu yang solnya tipis, dan hasilnya, kaki terasa perih setiap kali melangkah di atas batuan tajam. Padahal, dengan sepatu yang tepat, rasa sakit ini bisa dihindari.


Pentingnya Mental dan Motivasi

Nah, ini bagian yang nggak kalah penting, mental. Di perjalanan menuju puncak, ada momen di mana aku sempat berpikir, “Kenapa aku nyiksa diri kayak gini? Apa nggak lebih enak ngopi di rumah sambil nonton Netflix?” Tapi entah kenapa, ada suara kecil di dalam diri yang bilang, “Ayo, udah sampai sini, masa’ nyerah?” Itu adalah motivasi yang akhirnya bikin aku terus melangkah, meskipun jalur summit ke puncak adalah bagian paling membuat semua orang mau menyerah.

Jujur aja, bagian summit attack itu mirip seperti berjuang di atas pasir. Setiap langkah yang diambil seperti nggak ada kemajuan karena kita terus terpeleset dan turun lagi ke bawah. Sangat frustasi, tapi itulah poin pentingnya: mendaki Rinjani bukan cuma soal fisik, tapi juga tentang melawan mentalitas menyerah.

Ketika akhirnya sampai di puncak, semua rasa lelah, dingin, dan frustrasi itu langsung terbayar dengan pemandangan luar biasa. Dari sana, kamu bisa melihat kawah Danau Segara Anak yang berwarna biru cerah, Gunung Barujari yang menjulang, dan hamparan awan yang seolah berada tepat di bawah kakimu. Rasanya seperti berdiri di atas dunia. Di titik itu, aku sadar kalau usaha keras selama dua hari ini benar-benar layak.


Jangan Abaikan Local Guide dan Porter

Satu hal yang juga sering dilupakan adalah, pentingnya menggunakan jasa porter dan guide lokal. Waktu itu, aku berpikir bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi setelah beberapa jam mendaki, aku sadar betapa banyak barang yang harus dibawa — air, makanan, tenda, peralatan masak, dan lain-lain. Porter dan guide lokal sangat membantu dalam hal ini, dan mereka bahkan memberikan tips-tips penting selama perjalanan, seperti titik-titik untuk istirahat atau jalur-jalur yang lebih mudah dilalui.

Jujur, aku merasa sangat kagum dengan kekuatan mereka. Bayangkan, mereka berjalan cepat sambil membawa beban yang berat di pundak dan tetap bisa tersenyum serta bersenda gurau sepanjang jalan. Aku sempat bertanya, “Apa rahasianya?” Mereka hanya tertawa dan bilang, “Kami sudah terbiasa.” Tapi aku rasa, lebih dari itu, mereka mencintai apa yang mereka lakukan. Itu yang membuat mereka terus kuat.


Tips Lainnya: Jangan Lupa Bawa Power Bank!

Ini mungkin terdengar sepele, tapi di gunung seperti Rinjani, di mana sinyal sangat jarang, kamera ponsel adalah satu-satunya alat untuk mengabadikan momen. Dan aku nggak nyangka betapa cepatnya baterai habis karena terus digunakan untuk foto. Untungnya, aku bawa power bank, tapi kalau kamu lupa, bisa jadi masalah besar. Apalagi, pemandangan di Rinjani terlalu indah untuk dilewatkan tanpa dokumentasi.


Gunung Rinjani Adalah Guru Kehidupan Yang Sangat Berharga

Akhirnya, mendaki Gunung Rinjani mengajarkan banyak hal. Selain persiapan fisik dan peralatan yang memadai, hal terpenting yang aku pelajari adalah tentang ketahanan mental dan kekuatan untuk terus maju, bahkan ketika kamu merasa ingin menyerah. Perjalanan ini juga membuka mataku bahwa terkadang, bantuan dari orang lain (seperti porter atau guide) bisa sangat berharga, dan itu bukan sesuatu yang perlu dianggap remeh.

Jadi, kalau kamu berencana mendaki Rinjani, persiapkan fisik, mental, dan peralatan dengan baik. Tapi yang lebih penting, siapkan dirimu untuk pengalaman yang luar biasa dan pelajaran hidup yang tak ternilai harganya.